2.
Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme lahir dari ide Piaget dan Vygotsky.
Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau
konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Dalam
Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan
pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru. Mengikut Briner (1999), pembelajaran
secara konstruktivisme berlaku di mana siswa membina pengetahuan dengan menguji
ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya
pada satu situasi baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh
dengan binaan intelektual yang sedia wujud.
2.1
Teori Konstruktivisme Menurut Piaget
Menurut Piaget
(Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-tingkat
perkembangan intelektual dalam pembelajaran. Tahap-tahap tersebut berdasarkan
umur seorang anak. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut:
1.
Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui
kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata
berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki
pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat
di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi
pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada
tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar
gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
2.
Tahap Preoporational (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak mampu berpikir sebelum bertindak, meski
kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa
2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka
berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain,
sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya
membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap
walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di
usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit
daripada menggunakan hanya kata-kata.
3.
Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki
kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun
suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap.
Anak juga mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka
tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih
dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga
hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif
dibanding penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
4.
Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap
berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesis, menghitung konsekuensi
yang mungkin terjadi serta menguji hipotesis yang mereka buat. Kalau dihadapkan
pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu
memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang
paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Sehingga pada yang terakhir inilah merupakan kesempurnaan dari penerimaan
pembelajaran yang baik dan mengembangkan potensi diri yang sempurna.
2.2
Teori Konstruktivisme Menurut Vigotsky
Vygotsky adalah
salah seorang tokoh konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya
interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan
aspek lingkungan sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa
pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya
atau tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development).
Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat
sosial budaya dalam pembelajaran. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa
bekerja dalam zona perkembangan proksima (zone of proximal development).
Zona perkembangan proksima adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku.
2.3 Prinsip-prinsip teori konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang
diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
- Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri
- murid sendiri untuk menalar
- Murid aktif megkontruksi secara
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
- Guru sekedar membantu
menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
- Menghadapi masalah yang relevan
dengan siswa
- Struktur pembalajaran seputar
konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
- Mencari dan menilai pendapat
siswa
- Menyesuaikan kurikulum untuk
menanggapi anggapan siswa.
Arthur
W. Chickering dan Zelda
F. Gamson mengetengahkan tentang 7 (tujuh) prinsip praktik pembelajaran
yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan
kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah,
maupun pihak lainnya yang terkait dengan pendidikan.
1.
Encourages Contact Between Students and Faculty
Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam
maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk meningkatkan
motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya kontak antara
guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya.
Guru dapat membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga
dengan guru, guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan
komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai
mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya.
2.
Develops Reciprocity and Cooperation Among Students
Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara
tim dibandingkan melalui perpacuan individual (solo race). Belajar yang baik bukanlah seperti bekerja yang baik,
yakni kolaboratif dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja
dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam belajar.
Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain, semakin dapat
mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu.
3.
Encourages Active Learning
Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau
pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas untuk mendengarkan
penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru, atau menjawab
pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari
dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa
yang mereka pelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.
4.
Gives Prompt Feedback
Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas
kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang telah
dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa membutuhkan bantuan untuk
menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering
diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada
bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang
telah dipelajari, apa yang masih perlu diketahui, dan bagaimana menilai dirinya
sendiri.
5.
Emphasizes Time on Task
Ada pernyataan waktu + energi = belajar. Memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa
membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif belajarnya. Mengalokasikan
jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa
dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah sebenarnya dapat mendefinisikan
ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk
membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya.
6.
Communicates High Expectations
Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang
tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan para siswa
berkinerja atau berprestasi baik, pada gilirannya akan mendorong guru maupun
sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya.
7.
Respects Diverse Talents and Ways of Learning
Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan
membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang kuat dalam matematika,
tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam praktik tetapi lemah dalam
teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk
menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing.
Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini
bukanlah hal mudah bagi guru untuk melakukannya.
Pada bagian lain, Arthur
W. Chickering dan Zelda F. Gamson
mengatakan bahwa guru dan siswa memegang peran dan tanggung jawab penting untuk
meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi mereka tetap membutuhkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak untuk membentuk sebuah lingkungan belajar yang
kondusif bagi praktik pembelajaran yang baik. Adapun yang dimaksud dengan
lingkungan tersebut meliputi:
1. Adanya rasa
tujuan bersama yang kuat;
2.
Dukungan kongkrit dari kepala sekolah dan para administrator pendidikan untuk
mencapai tujuan ;
3. Dana yang memadai
sesuai dengan tujuan;
4. Kebijakan dan
prosedur yang konsisten dengan tujuan; dan
5. Evaluasi yang
berkesinambungan tentang sejauh mana ketercapaian tujuan.
2.4 Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Adapun
ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
- Memberi peluang kepada murid
membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
- Menggalakkan ide yang dipunyai
oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
- Menyokong pembelajaran secara
koperatif Mengambil sikap dan pembawaan murid.
- Mengambil kesimpulan bagaimana
murid belajar sesuatu ide
- Mengutamakan menerima usaha
& autonomi murid
- Mengutamakan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru
- Menganggap pembelajaran sebagai
suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
- Mengutamakan proses inkuiri
murid melalui kajian dan eksperimen.
2.5 Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar
Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan konsep
yaitu; perubahan konsep yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat
terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia
punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila
orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan
dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan itu pengetahuan manusia berkembang
dan berubah. Untuk memungkinkan terjadinya perubahan diperlukan suatu keadaan
yang menantang orang tesebut berpikir.
Teori asimilasi Ausubel
menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi, yaitu bila siswa
mengasimilasikan apa yang ia pelajari dengan pengetahuan yang ia punyai
sebelumnya. Dalam proses ini pengetahuan seseorang selalu diperbaharui dan
dikembangkan lewat fenomena dan pengalaman yang baru.
Teori skema lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita
tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar,
kita dapat mengubah dan menambahkan skema yang ada sehingga dapat menjadi luas
dan berkembang. Ketiga teori tersebut dalam banyak hal mengandung kesamaan
dengan prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda
dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Bila behaviorisme
menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih
menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam.
2.6 Implikasi Konstruktivisme Terhadap Proses
Belajar
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif
pelajar mengkonstruksi dari teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain.
Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tapi suatu pengembangan pemikiran
membuat pengertian baru. Proses belajar yang sebenarnya terjadi adalah pada
saat skemata seseorang tidak seimbang. Hal ini memacu seseorang untuk terus
berpikir dan belajar. Sementara itu hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. Belajar merupakan proses mengkonstruksi
pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses
konstruksi ini dilakukan secara aktif baik oleh indiidu maupun kelompok.
2.7 Implikasi Konstruktivisme terhadap Mengajar
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan , membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
2.8 Fungsi dan Peran Pengajar
Menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru
berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar
murid belajar dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar bukan kepada
guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas sebagai berikut:
- Menyediakan pengalaman belajar
yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses
dan penelitian.
- Menyediakan kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya.
- Memonitor, mengevaluasi, dan
menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru membantu
mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid.
Guru berdasarkan teori konstruktivisme bukan merupakan
satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Hal ini didasari bahwa setiap manusia
mulai dari kandungan sudah dibekali oleh pengetahuan dasar dengan memberikan
respon terhadap rangasangan. Kemudian setelah bayi itu lahir dan kemudian
berinteraksi dengan lingkungan maka sebenarnya anak tersebut sudah memiliki
bekal pengetahuan awal. Berpijak dari pemikiran inilah, guru konstruktivis
berperan menggali pengetahuan awal siswa untuk dikembangkan ke potensi
maksimal. Selain hal tersebut di atas, guru perlu menciptakan suasana yang
membuat murid antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba
memecahkan persoalannya.
2.9 Kelebihan Dan Kekurangan Teori
Konstruktivisme
1.
Kelebihan
Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid
berfikir untuk menyelesaikan masalah, membuat idea dan membuat keputusan.
a. Faham
Oleh kerana murid terlibat secara langsung
dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya
dalam semua situasi.
b. Ingat
Oleh kerana murid terlibat secara
langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep, yakni Murid
melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih
yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
c. Kemahiran sosial
Kemahiran sosial diperolehi apabila
berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
2.
Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa
kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya
kurang begitu mendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar